Minggu, 06 Januari 2013

Kesyirikan Jaman Sekarang Lebih Parah Dari Pada Jaman Dahulu


Apabila kita membandingkan kesyirikan kaum musyrikin zaman dahulu dengan kesyirikan yang dilakukan manusia zaman sekarang dan bahkan banyak yang mengaku sebagai muslim, terlihat bahwa kesyirikan zaman sekarang lebih parah daripada kesyirikan kaum musyrikin zaman dahulu. Kaum Musyrikin dahulu tidak mempersekutukan Allah dalam sifat Rububiyah-Nya. Mereka meyakini bahwa yang mengusai alam semesta ini, yang berkuasa atas segala sesuatu, yang mampu menolong mereka dari mara bahaya hanyalah Allah ‘Azza wa Jalla semata tidak ada yang lainnya.
“Allah menceritakan perihal kaum musyrikin zaman dahulu di dalam firman-Nya, yang artinya: “Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Alloh)” (QS: Al-Ankabut: 65)
Asy-Syaikh As Sa’di mengatakan: “Kemudian Allah menerangkan bagaimana tauhid kaum musyirikin tatkala mereka berada dalam mara bahaya dan ketakutan yang mencekam yakni ketika mereka berada di atas bahtera. Pada saat mereka ditimpa ombak yang besar ditengah lautan, mereka meninggalkan sesembahan mereka yang lain dan mereka hanya berdoa kepada Allah semata (sebab mereka yakin bahwa yang hanya bisa menolong mereka pada saat itu adalah Allah semata). Maka tatkala mara bahaya itu telah hilang dari mereka dan Allah selamatkan mereka sehingga mereka sampai di daratan, maka tiba-tiba saja mereka kembali mempersekutukan Allah dengan tandingan-tandingan, padahal tandingan tersebut mereka yakini tidaklah mampu menyelamatkan mereka” (Taisir Karimir Rohman)
Kesyirikan Saat Ini
Lalu bagaimanakah kondisi sebagian orang yang mengaku-ngaku merupakan bagian dari kaum muslimin sekarang. Diantara mereka ada yang meyakini bahwa ada penguasa lain di alam ini. Ada yang meyakini bahwa yang menguasai pantai laut selatan adalah Nyi Roro Kidul, yang menguasai (atau dalam bahasa mereka “mbahu rekso”) Gunung Merapi adalah mbah ini dan itu, yang menguasai jembatan ini, pohon ini dan yang menyuburkan pertanian adalah mbah anu dan lain sebagainya. Lalu diantara mereka ada pula yang apabila akan ditimpa kesusahan atau mara bahaya, tidak meminta tolong kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata (sebagaimana kaum musryik dulu), namun malah datang kepada dukun-dukun, paranormal-paranormal, ataupun dengan istilah yang lebih unik yaitu Juru Kunci yang pada dasarnya mereka tersebut tidak berkuasa sedikitpun untuk menghindarkan mereka dari bahaya.
Mereka mendatanginya untuk meminta penolak bala, nasehat-nasehat penolak bala seperti membuat sesajen-sesajen dan ritual-ritual yang tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan kesyirikan tersebut diperparah dengan bungkusan-bungkusan “Islami”, seperti membacakan kertas-kertas atau buah-buahan atau sayur lodeh dan sesajian lainnya dengan ayat-ayat seperti ayat Al-Quran. WAllahu ‘Alam, Na’udzu Billah. Sehingga manusia yang tidak memiliki Tauhid dan Akal yang benar mengganggap kesyrikan tersebut sebagai Syariat Islam.
Bukankah ini lebih parah dibandingkan kaum musyrikin terdahulu? Maka semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada kita dan seluruh kaum muslimin
Mintalah Hanya Kepada Allah.
“Meminta perlindungan atau isti’adzah merupakan salah satu macam dari do’a, sehingga termasuk dalam ibadah. Sehingga didalamnya berlaku kaidah ibadah secara umum yaitu tidak boleh bagi siapapun juga untuk menujukan ibadah tersebut kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga barang siapa yang meminta perlindungan kepada selain Allah maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah seorang pun didalamnya di samping (menyembah) Alloh” (QS: Jin: 18)
Diantara contoh isti’adzah kepada selain Allah adalah ruwatan, membunyikan klakson ketika melewati tempat angker dan permisi ketika melewati tempat angker serta contoh-contoh yang disebutkan diatas.
Kandungan Isti’adzah
Dalam isti’adzah terkandung dua amalan, yakni amalan zhohir dan amalan batin. Amalan zhohirnya adalah ketika dia meminta perlindungan itu sendiri kepada yang lain bisa dengan sesama makhluk atau dengan sang kholiq, yakni agar terjaga dan terselamatkan dari kejelekan. Dan amalan bathinnya adalah berupa bersandarnya hati, tenangnya hati dan sikap pasrahnya menyerahkan hajatnya kepada orang atau siapa yang mampu melindunginya.
Maka apabila isti’adzah pada dua macam ini, yakni amalan zhohir dan amalan batin, maka tentulah isti’adzah ini harus ditujukan hanya kepada Allah, tidak boleh kepada selain-Nya. Mengapa?
Karena didalamnya terkandung amalan hati, dimana berdasarkan ijma’ ulama tidaklah boleh bagi siapapun juga untuk ber-tawajjuh (menghadap), ber-ta’alluq (bergantung) dan menyandarkan hatinya kepada selain Allah.
Namun apabila yang dimaksud dengan isti’adzah adalah hanya terbatas pada amalan zhohir saja, maka boleh ditujukan kepada selain Allah (kepada makhluk). Dan perkara seperti ini tentu saja tidak kita ingkari. Terkadang seseorang meminta bantuan kepada saudaranya yang lain agar terhindar dari kejelekan atau marabahaya .Seperti seorang yang minta bantuan polisi dari ancaman pembunuhan atau lainnya. Maka hal seperti ini hukumnya mubah (boleh) namun dengan syarat berikut ini:
Perkara tersebut adalah perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk.
Maka tidak boleh seseorang hamba meminta perlindungan dari bahaya badai dan gempa serta tsunami kepada Nyi Roro Kidul atau kepada makhluk yang lainnya, meminta perlindungan dari bahaya paceklik kepada dukun, kyai ataupun nabi sekalipun. Mengapa? Karena jelas-jelas perkara ini perkara yang sedikitpun tidak mereka kuasai.
Orang yang dimintai tersebut masih hidup
Maka tidak boleh meminta kepada orang-orang yang telah mati, meskipun dia seorang wali atau nabi sekalipun.
Orang yang dimintai tidak dalam keadaan ghoib (terjadi komunikasi)
Maka salah perbuatan orang-orang thoriqot atau kaum sufi yang mereka meminta kepada syaikh-syaikh thoriqotnya (yang tidak hadir) agar terhindar dari suatu bahaya.
Dari ketiga syarat diatas, maka barang siapa yang ketika dalam isti’adzahnya kepada selain Allah (kepada makhluk) itu tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka sesungguhnya dia telah melakukan kesyirikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam hal isti’adzah.
Ancaman Kepada Kesyirikan
Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni apabila dia dipersekutukan dan dia mengampuni dosa-dosa selainnya kepada siapa yang dikehendakinya” (QS: An Nisa: 116). Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mati sedangkan dia membuat tandingan-tandingan untuk Allah maka dia masuk neraka” (HR: Bukhori)
Dalam kaitan dengan isti’adzah Allah menceritakan yang artinya: “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS: Al-Jin: 6). Dari ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan bahwa orang-orang yang meminta perlindungan kepada selain Allah, maka tidaklah dia akan mendapatkan suatu ketenangan, bahkan sebaliknya dia akan bertambah takut dan mendapatkan dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar