Senin, 21 Januari 2013

Perintah Ber Sholawat




Ya Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasalam... Sejuta salam dan rindu, kami persembahkan kepadamu....

اللَّهُــــمّ صلى وسلّـــــم  علي سيدنا محمّــــد وعلي الـــه وصحبه وسلّــــم


Rasulullah Sholallahu Aalaihi Wasalam telah  bersabda bahwa "Malaikat Jibril Alaihi Salam, Mikail Alaihi Salam, Israfil Alaihi Salam dan Izrail Aalaihi Salam trlah berkata kepadaku."

Berkatalah Jibril Alaihi Salam : " Wahai Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasalam. Barang siapa yang ,membaca Sholawat atasmu tiap hari sebanyaak sepuluh kali, maka akan Saya bimbing tangannya dan akan saya bawa dia melintasi titian seperti kilat. menyambar"

Berkata pula Mikail Alaihi salam. : "Mereka yang bersholawat atasmu akan aku beri mereka minum dari telagamu "

Berkata juga Israfil Alaihi Salam : "mereka yang bersholawat atas mu, aku akan sujud kepada Allah Subhana Wa'Ta' ala dan tidak akan mengangkat kepalaku sehingga Allah Subhana Wa'Ta' ala mengampuni orang itu (yang bersholawat)."

Malaikat Izrail Alaihi Salam berkata: "Bagi mereka yang bersholawat atas mu akan aku cabut  Ruh mereka itu dengan selembut-lembutnya seperti aku mencabut ruh para Nabi-Nabi Allah Subhana Wa'Ta' ala". (Al-Hadits).

dan dalam redaksi hadits lain Rasulullah bersabda:
Bersholawatlah kamu kepadaku, karena sholawat itu zakat penghening jiwa, pembersih dosa bagimu.(HR. Ibnu Majah)


Dalam Al-Qur'an pun Allah berfirman :

إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىّ‏ِ يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi; wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya.” (Al-Ahzab/33: 56)


pertanyaannya, apakah kita  masih tidak mau bersholawat atas Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasalam..? 

padahal telah jelas Jaminan yang diberikan masing-masing para Malaikat Allah Subhanan Wa' Ta' Ala untuk orang-orang yang bersholawat Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasalam.

Dengan kisah yang dikemukakan ini, Alfaqir harapkan para sahabat yang membaca tidak melepaskan peluang untuk selalu bersholawat atas junjungan kita Nabi yang akan memberi Syafaat kelak di hari Akhir Nabi Muhammad Sholallhu Alaihi Wasalam. dan mudah mudahan kita menjadi orang orang kesayangan Allah, Rasul dan para Malaikat...

Semoga Ada bermanfaat.

Ya Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasalam... Sejuta salam dan rindu, kami persembahkan kepadamu....

للَّهُــــمّ صلى وسلّـــــم  علي سيدنا محمّــــد وعلي الـــه وصحبه وسلّــــم


Sabtu, 19 Januari 2013

Renungan

Mari renungkan hadis ini...

Nabi SAW bersabda “Aku adalah Ahmad tanpa mim (m)”. 
Ahmad tanpa mim (m) akan berarti ahad (Esa), yang merupakan sifat Allah yang sangat unik. Mim yang merupakan simbol personafikasi dan manifestasi Allah dalam diri Muhammad pada hakekatnya adalah bayangan Ahad yang ada di alam semesta. Mim adalah wasilah antara makhluk dengan Khaliqnya. 


Mim adalah jembatan yang menghubungkan para Kekasih Allah dengan Sang Kekasihnya yang mutlak. Dengan kata lain Muhammad adalah mediator antara makhluk dengan Allah SWT. Dialah mazhar al-Haq atau tempat kebenaran dan realitas Allah menampak di dunia ini. Dialah “Zahirnya Allah di tengah makhluk-makhluk-Nya. Dialah aktivitas Allah yang dapat dilihat manusia dengan matanya, karena Allah SWT sendiri tak dapat dilihat . Iqbal berkata, Duhai Rasul Allah Dengan Allah aku berbicara melalui tabirmu Denganmu tidak, Dialah Batinku, Dikaulah Zahirku.

Rasul saw benar-benar berfungsi “mim” yang “membumikan” Allah dalam kehidupan manusia. Dialah “Zahir”nya Allah; dialah Syafi’(yang memberikan syafaat, pertolongan dan rekomendasi) antara makhluk dengan Tuhannya. Ketika anda ingin merasakan kehadiran Allah dalam diri anda, hadirkan Rasul saw. Ketika anda ingin disapa oleh Allah, sapalah Muhammad saw. Ketika anda ingin dicintai Allah, cintailah Muhammad saw.

Qul inkuntum tuhibbunallah fat tabi’uni yuhbibkumullah, “Apabila kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku (Muhammad saw) kelak Allah akan cinta kepada kalian.” Kepada orang seperti inilah kita diwajibkan cinta, berkorban dan bermohon untuk selalu bersamanya, di dunia dan akhirat. Sebab seperti kata Nabi, “Setiap orang akan senantiasa bersama orang yang dicintainya.”

Yaa Rasuuul...Sungguh, kami rindu padamu....

Rintihan pengaduan kepada Dzat Yang Suci


Ya Robbana..

ku adukan kepada-Mu hati yang keras dengan guncangan was-was dan kekalutan...
yang tertutup noda kekufuran, mata yang beku untuk menangis karena takut pada-Mu,
 tetapi sering cair untuk kesenangan diri.

Ya Ilahana....

tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kuasa-Mu.
tidak ada keselamatan bagi kami dari bencana dunia kecuali dengan penjagaan-Mu.
kami bermohon kepada-Mu dengan keindahan hikmah-Mu dengan pelaksanaan kehendak-Mu
jangan jadikan kami sasaran cobaan dan bencana.

jadilah engkau Pembela dan Pelindung kami dari aneka musibah, engkau penutup cela dan penutub aib kami
duhai Dzat Yang Maha Kasih.. kasihanilah kami dengan Kasih-Mu jagalah kami dengan penjagaan-Mu.

Senin, 07 Januari 2013

Perempuan Dalam Al-Qur'an


Perempuan Dalam Al-Qur'an

Dari ummu Salamah R.A : Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, " Mengapa kami kaum perempuan tidak disebutkan (keutamaannya) dalm Al-Qur'an sebagaimana kaum laki-laki..?' Rasulullah SAW. tidak segera menjawab. namum, pada waktu yang lain kulihat beliau berdiri diatas mimbar. ketika itu, aku sedang menyisir rambut. setelah selesai menggulung rambut, aku masuk kesalah satu kamar di rumahku. Kupasang pendengaranku di dekat atap masjid yng ketika itu masih terbuat dari pelepah kurma, dan posisinya dekat dengan mimbar mesjid dan aku mendengar Rasul SAW bersabda" Wahai manusia, sesungguhnya Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya, Sesungguhnya laki-laki dam perempuan yang memeluk islam, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang taat (kepada Allah) laki-laki dan perempuan yang berbuat benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, yang bersedekah, yang berpuasa, yang ,memelihara kehormatannya, yang banyak menyebut Allah, bagimereka Allah SWT telah menyediakan ampunan dan pahala yg besar <(QS. Al-Ahzab:35)"(HR.Ahmad, Al Nasa'i dan Al-Hakim yang dishahihkan Al-Imam Bukhari-Muslim)>

dari Hadits diatas menunjukan beberapa hal sebagai berikut:

~ kegelisahan dan kekhawatiran kaum perempuan di zaman Nabi SAW, (shahabiyyat) karena Al-Qur'an tidak menyebutkan mereka sebagaimana Al-Qur'an menyebut kaum laki-laki. Kekhawatiran itu muncul akibat penilaian buruk mereka, dengan tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, mereka menganggap bahwa hal itu seakan akan menunjukan bahwa kedudukan mereka telah menunaikan semua kewajiban yang di emban kepada mereka. Mereka juga merasa bahwa kebajikan mereka tidak akan pernah setera dengan kabajikan yang dilakukan laki-laki.
berkenaan adanya makna ayat di atas yg dikutip dalam hadis diatas(Ak-Ahzab:35). Muqatil berkata Ummu Salammah dan Anisah binti Ka'ab dari kalangan Anshor : " Mengapa Allah menyebutkan laki laki, tetapi tidak menyebutkan perempuan sedikitpun dalam kitab suci-Nya? kami merasa khawatir bila kami tidak bisa berbuat kebajikan. " kemudian turunlah ayat tersebut" (tafsir Al-Baghawi)

~hadits diatas menggambarkan cara Al-Qur'an memberikan ketenangan kepada kaum perempuan dan menghilangkan kegelisahan dan keraguan mereka. dan jelas Al-Qur'an mengungkap derajat dan kedudukan perempuan derajat dan kedudukan perempuan dalam islam bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan DALAM USAHA MENCAPAI DERAJAT TERTINGGI DALAM AGAMA SERTA MEMPEROLEH PAHALA DAN AMPUNAN DARI ALLAH SWT.

wa-allahu 'alam bishowab..
 
https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/536506_386813851371434_725165247_n.jpg

HAK-HAK ISTRI TERHADAP SUAMI

|HAK-HAK ISTRI TERHADAP SUAMI|


Kira-kira apa ya hak istri terhadap SUAMINYA.... ?

Allah S.W.T berfiman sebagaimana tersebut dalam Surat An-Nisaa:19 :

“WA ‘AASYIRUUHUNNA BILMA’RUUFI"
Artinya : “ Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) dengan baik “
Yang dimaksud adalah pergaulan secara adil. Baik dalam pembagian giliran
(kalau kebetulan poligami), pemberian belanja dan berperangai baik dalam
ucapan dan tindakan.

dalam keterangan lain Allah berfirman dalam Surat Al-Baqoroh ayat 228 diterangkan:

Artinya : “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengankewajiban
nya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai suatu
tingkatan kelebihan daripada istrinya.

dalam hadits Rasulullah saw memberikan petuahnya : Diriwayatkan dari nabi Muhammad saw bahwa, saat beliau menunaikan haji wada’ belau bersabda : Setelah beliau memuji Allah S.W.T dan menyanjung-Nya serta memberi petuah pada kaum muslimin yang hadir, Beliau melanjutkan sabdanya:

“Ingatlah, berikanlah wasiat kepada para wanita secara baik, karena mereka
hanyalah sebagai tawanan dihadapanmu. Sesungguhnya kalian tidak memiliki
apapun dari mereka kecuali kebaikan. kecuali jika mereka itu (wanita) datang
dengan membawa perbuatan buruk yang jelas. Kalau wanita melakukan perbuatan tercela, maka berpisahlah sebatas tempat tidur dan pukullah
dengan pukulan yang tidak membahayakan.
Kalau istrimu mentaati maka kamu jangan mencari alasan lain untuk
mengusiknya. Ingatlah sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istri dirimu.
Diantara hak kalian atas istri-istrimu adalah melarang istrimu menggelar
tikarmu terhadap orang yang tidak kamu sukai dan tidak mengijinkan istriistrimu
memasukkan orang yang tidak kamu sukai. Ingatlah, bahwa diantara
hak-hak istrimu adalah memberi pakaian yang baik kepadanya dan demikian
pula dalam hal makanannya.”(Hadist)

Beberapa keterangan hadits tentang Hak istri atas suami:

memberi makan kepadanya jika ia (suami) makan, memberi pakaian kepadanya
apabila ia (suami) berpakaian, dan jangan menampar wajah, jangan
menjelek-jelekkan dan jangan membiarkan (memisahkannya) kecuali dalam
hal tempat tidur.(Hadits)

Dalam keterangan Hadits lain Beliau Nabi SAW bersabda:

AYYUMAA ROJULIN TAZAWWAJA IMROATAN ‘ALAA MAAQOLLA
MINALMAHRI AU KATSURO LAISYA FII NAFSIHI ANYUADDIYA
HAQQOHAA KHODDA’AHAA FAMAATA WALAM YUADDI ILAIHAA
HAQQOHAA LAQIYALLOHA YAUMAL QIYAMATA WAHUWA ZAARIN

Siapapun orang laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan
maskawin yang hanya sedikit atau banyak, tetapi drinya berniat untuk tidak
memenuhi hak-hak istri (yakni bermaksud menipunya) lalu lelaki itu mati
hingga belum pernah memenuhi hak-hak istrinya, maka dihari kiamat kelak ia
akan menghadap Alloh S.W.T dengan menyandang predikat sebagai pezina(hadits)

INNA MIN AKMALIL MU’MINIINA IIMAANAN
AHSANUHUM KHULUQON WAALTHOFUHUM BIAHLIHII.

Sesunguhnya diantara kesempurnaan keimanan orang mukmin
adalah mereka yang lebih bersikap kasih sayang (berlaku lemah lembut)
terhadap istrinya.(Riwayat Tarmidzi)

KHOIRUKUM KHOIRUKUM LIAHLIHII WA ANA
KHOIRUKUM LI AHLII. ”

Sebaik-baik orang diantara kamu adalah mereka yang paling bagus
terhadap istri-istrinya. Dan aku adalah orang yang terbaik diantaramu
terhadap keluarga (istri-istri)ku. ” (Riwayat Ibnu Hibban).

Dalam riwayat lainnya dikatakan :

Rasulullah S.A.W bersabda :
MAN SHOBARO’ALA SUUI KHULUQI IMROATIHII A’THOOHU ALLAHU
MINAL AJRI MITSLAMAA U’THIYA AYYUUBU ‘ALAIHISSALAAMU’ALA
BALAA IHI WA MAN SHOBAROT ‘ALASUI KHULUQI ZAUJIHAA
A’THOOHALLAHU MINAL AJRI MITSLATS.A.WAA BI AASIYATA IMROATA
FIR’AUNA.

Barang siapa bersabar atas keburukan kelakuan istrinya maka
Allah S.W.T akan memberi pahala kepadanya seperti pahala yang pernah
diberikan Allah S.W.T kepada Nabi Ayyub AS atas cobaan yang diterimanya.
Dan barang siapa bersabar atas keburukan kelakuan suaminya maka Allah
S.W.T memberi pahala kepadanya seperti pahala yang pernah diberikan
kepada Asiyah istri Fir’aun. (al-Hadits)

dan masih banyak keterangan Hadits dan Al-Qur'an lain... 

Allah lebih senang orang yang bertaubat


Assalamu'alaikum Wr. Wb

| Allah lebih senang/gembira jika seseorang bertobat kepadanya dari pada mencari harta yg hilang.

Rasulullah berkata: bagaimana jika seorang mempunyai harta lalu kesemua hartanya hilang?, sahabat menjawab : tentu ia sangat sedih wahai Rasul (saw), maka Rasul saw bersabda : lalu ia mencari - cari hartanya itu dan rebah kelelahan dan sedih hingga tertidur, saat bangun semua hartanya sudah ada di hadapannya, bagaimana perasaannya?, para sahabat menjawab : tentu ia sangat teramat gembira wahai Rasul...!!, maka Rasul saw bersabda : Allah swt lebih gembira menyambut hamba-Nya yang bertobat dari kegembiraan orang itu. (Shahih Bukhari)

Wahai Keturunan Adam, ketika kau berharap dan berdoa kepada-Ku, Ku-hapuskan dosa - dosa kalian dan tidak Ku-pertanyakan lagi, wahai keturunan Adam, walau sampai dosamu memenuhi langit, dan kau mohon ampun pada-Ku, Ku-limpahkan pengampunan-Ku. (HR. Ahmad)

semoga bermanfaat
 

berdzikirlah dengan senandung cinta


berdzikirlah dengan senandung cinta kepada-Nya..

Sahabat Abu Qasim Al Qusairy mengingatkan : " zikir itu akan meningkatkan martabat iman dan mendekatkan kepada Allah, lambang kewalian, pelita penenang kalbu, jiwa dari semua amal, karena tujuannya untuk taqarrub kepada Allah."

Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan : "aku (Allah) selalu mengikuti dugaan hamba-Ku terhadap diri-Ku dan Aku selalu menyertainya diwaktu ia berdzikir." Zikir itu berjalan sepanjang masa tanpa batas waktu atau halangan, sebab ia diperbolehkan pada semua waktu.

jika kita memperkenankan hati kita untuk mengingat dan menyebut orang yang kita kasihi lalu apa alasan kita untuk lebih kuat mencurahkan ingatan kita pada Dzat Yang Maha Kasih..........

ya Robb jangan Kau palingkan Wajah Sucimu dari kami walau sekejap saja

Minggu, 06 Januari 2013

Antara Nasihat Dan Fadhihah (Membuka Aib)


Muhammad bin Ali Al-Su’wi
Sesungguhnya memberikan nasihat kepada kaum muslimin; baik berupa bimbingan kepada kebenaran yang nyata atau pun peringatan dari kebatilan dan para pelakunya, terhitung bagian dari agama.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدِّينُ النَّصِيحَةُ قَالُوا لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Rasulullah saw. bersabda: “Agama adalah nasihat”, para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Rasulullah saw. bersabda: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum”. (Bukhari, Muslim dan ahli hadits lainnya)
Al-Khaththabi berkata: “Nasihat adalah sebuah kosa kata yang bersifat merangkum dan menghimpun banyak arti, maknanya adalah: mendatangkan kebaikan kepada pihak yang dinasihati”.
Tidak diragukan lagi bahwa manusia berpotensi salah dan cenderung menyimpang dari al-haq dan kebenaran. Tersebut dalam hadits:
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ اَلتَّوَّابُوْنَ
“Semua anak keturunan manusia bersifat salah, dan sebaik-baik mereka yang salah adalah yang paling banyak bertaubat”. (Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dan termasuk hak seorang muslim atas muslim lainnya adalah hendaklah ia menunjukkan kepada saudaranya tentang aib dan kesalahannya, dan hendaklah ia menasihatinya dalam perkara dan urusannya. Tetapi, nasihat itu hendaklah dilakukan dengan lembut dan hikmah. Hendaklah seorang muslim berhati-hati, jangan sampai menghina saudaranya dan menuduhnya hanya berdasar kepada sekedar persangkaan saja, sebab, persangkaan itu adalah seburuk-buruk pembicaraan, dan cukuplah hal ini sebagai kejahatan. Rasulullah saw. bersabda:
بِحَسْبِ اِمْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ اَلْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang itu menjadi jahat saat ia menghina saudaranya yang muslim” (Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Jika ada mendengar – seorang muslim – tentang saudara muslim lainnya sesuatu yang tidak disuka, jangan segera membenarkan perkataan tentang saudaranya itu. Justru kewajibannya adalah untuk melakukan tatsabbut (klarifikasi) sehingga dirinya mendapatkan keyakinan tentangnya, sebab, kebanyakan manusia telah terbiasa menyebarluaskan keburukan secara bathil, dan banyak pula manusia yang suudzan (buruk sangka) nya lebih cepat daripada husnuzhan (berbaik sangka) nya, oleh karena itu, jangan membenarkan setiap perkataan, walaupun dirinya mendengarnya berulang kali sehingga dirinya mendengarnya dari yang menyaksikan secara langsung, dan jangan membenarkan orang yang menyaksikannya secara langsung sehingga dirinya memastikan kebenaran atas apa yang disaksikannya, dan jangan membenarkan orang yang telah membuktikan kesaksiannya sehingga dirinya memastikan kebersihannya dari tendensi khusus dan hawa nafsu. Untuk inilah Allah swt. memerintahkan kepada kita untuk menjauhi banyak persangkaan, dan memandang sebagian persangkaan itu sebagai dosa, sebab zhan itu bertolak belakang dengan ilmu dan ia tidak memberi arti apa-apa terhadap kebenaran. Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain”. (Al-Hujurat: 12).
Firman Allah yang lain:
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” (An-Najm: 28).
Dan jika seseorang melihat suatu urusan, atau sampai kepadanya tentang saudaranya suatu perkataan yang memiliki dua kemungkinan arti, maka, bawalah maksud perkataannya itu kepada maksud yang baik, sebab yang demikian ini lebih sesuai dengan akhlaq mulia dan lebih mencerminkan ukhuwwah yang bening. Umar bin Al-Khaththab ra. Berkata:
لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ الْمُؤْمِنِ إِلاَّ خَيْرًا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً
 ”Janganlah kamu menyangka satu kosa kata yang keluar dari saudara mukmin mu kecuali kebaikan, sedangkan engkau mendapati kemungkinan maksud yang baik dari perkataannya”. (Ahmad)
Puteri dari Abdullah bin Muthi’ berkata kepada suaminya Thalhah bin Abdurrahman bin Auf  ra. Di zamannya Thalhah adalah orang Quraisy yang paling derma. Istrinya berkata: “Saya tidak melihat satu kaum yang lebih buruk dari saudara-saudaramu!”. Thalhah berkata kepada istrinya: “hush hush! Kenapa demikian?”. Istrinya menjawab: “Saya melihat mereka, kalau kamu sedang ada uang, mereka nempel terus kepadamu, dan jika kamu sedang tidak mempunyai apa-apa, mereka meninggalkanmu”. Maka Thalhah berkata kepada istrinya: “Ini, demi Allah, adalah bukti bahwa mereka berakhlaq mulia, mereka datang kepada kita saat kita mampu memuliakan mereka, dan mereka meninggalkan kita saat kita tidak mampu memenuhi hak-hak mereka”.
Coba kita lihat, bagaimana Thalhah men-ta’wil-kan perbuatan saudara-saudaranya terhadapnya, padahal perbuatan itu jelas buruk dan tidak kenal budi, namun demikian, ia memandangnya sebagai bentuk kesetiaan dan kemuliaan.
Jika seorang muslim  melihat saudara muslim lainnya melakukan kesalahan yang tidak dapat diterima alasannya atau tidak bisa ditafsirkan lain, maka menjadi kewajibannya untuk datang kepadanya guna memberi nasihat secara rahasia, antara dirinya dan saudaranya saja, bukan di depan khalayak, sebab manusia tidak ingin aibnya diketahui oleh siapa pun, jika dirinya menasihati saudaranya secara rahasia, maka hal ini lebih berpeluang untuk diterima, lebih menunjukkan ikhlas dan jauh dari syubhat. Adapun jika dirinya menasihati saudaranya secara terbuka, di depan banyak orang, maka pada yang demikian ini terdapat syubhat dendam dan popularisasi keburukan, menonjolkan sisi kelebihan diri dan ilmu yang dimiliki. Dan hal ini merupakan penghalang yang mencegah pihak yang dinasihati untuk mendengarkan nasihat serta mengambil pelajaran darinya.
Di antara akhlaq Nabi saw. dan adabnya dalam mengingkari kemunkaran dan memperjelas kebenaran adalah bahwa jika sampai kepada beliau tentang satu atau sekelompok orang yang melakukan kemunkaran, maka beliau tidak menyebutkan nama mereka secara terbuka, beliau hanya bersabda: “Kenapa ada orang yang berbuat begini dan begini”, lalu orang yang dimaksud memahami bahwa dia lah yang dimaksud oleh nasihat itu. Dan hal ini termasuk cara memberi nasihat dan cara mentarbiyah yang paling tinggi.
Imam Syafi’i berkata:
مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَانَهُ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلاَنِيَّةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَشَانَهُ
“Siapa yang memberi mauizhah kepada saudara secara rahasia, maka ia telah menasihati dan memperbaikinya, dan siapa yang memberi mauizhah secara terbuka, berarti ia telah membuka aibnya dan memperburukkannya”
Jadi, seorang mukmin yang memberi nasihat, ia tidak memiliki tujuan untuk mempublikasikan aib orang yang dinasihatinya. Tujuannya tidak lain adalah menghilangkan kemaksiatan yang ia terjatuh kepadanya, sebab ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Adapun mempublikasikan dan menampakkan aib, maka hal ini termasuk yang diharamkan Allah swt. dan Rasul-Nya saw. Allah swt berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (An-Nur: 19).
Jadi, ada perbedaan antara orang yang bertujuan menasihati dan orang yang bertujuan membuka aib. Yang mencampur adukkan di atara keduanya hanyalah orang yang berakal tidak sehat. Hukuman bagi orang yang menyebar luaskan keburukan atas terhadap saudaranya yang beriman dan terus menerus mencari aib-aibnya serta membuka auratnya adalah Allah swt. akan mencari-cari auratnya, lalu membukanya di depan publik walaupun setelah beberapa tempo lamanya, kecuali jika ia bertaubat.
Di antara pertanda ta’yir (mencacat) dan tasyhir (mempopulerkan aib) adalah: menampakkan dan mempublikasikan keburukan dalam kemasan nasihat, ia mengklaim bahwa yang mendorongnya adalah tahdzir (memberi peringatan) atas ucapan dan perbuatannya, dan Allah mengetahui bahwa maksudnya adalah tahqir (merendahkan) dan adza (menyakiti).
Contoh hal ini adalah seseorang mencela orang lain dan menunjukkan kekurangannya serta menampakkan aibnya supaya manusia berlari darinya, namun maksudnya adalah keinginannya untuk menyakitinya karena permusuhan dirinya terhadapnya atau karena sebab-sebab tercela lainnya, dirinya tidak mampu mencapai tujuan ini kecuali dengan menampakkan celaan padanya, baik karena adanya sebab dini (agama) atau pun duniawi. Maka, siapa yang melakukan perbuatan demikian, ini merupakan pertanda adanya penyakit dalam hatinya, meskipun hal ini terjadi dari orang yang bersumpah bahwa tidak ada tujuan kecuali kebaikan, sedangkan Allah swt, menjadi saksi bahwa mereka adalah orang-orang yang bohong.
Dan siapa saja yang terkena bencana makar ini, yaitu saat ia dihina, dicacat, ditampakkan sisi kekurangannya, maka hendaklah ia bertakwa dan bersabar, sebab kesudahannya pasti milik yang bertakwa,
وَلاَ يَحِيْقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلاَّ بِأَهْلِهِ
“Dan makar buruk itu tidak menghancurkan kecuali pelakunya” (Fathir: 43)
Ketahuilah bahwa sebagian pemberi nasihat dan pengkritik dalam berbagai majlis, juga sebagian penulis di koran dan semacamnya, terperosok dalam sebagian kesalahan dan kekeliruan yang menyebabkan merenggangnya hubungan, di mana nashihah (memberi nasihat tanpa membuka aib) berubah menjadi fadhihah (membuka aib), tadzkir (memberi pengingatan) berubah menjadi tasyhir(publikasi keburukan). Dan hal ini bukanlah sesuatu yang diridhai Islam.
Ibnu Rajab berkata: ketahuilah bahwa menyebut manusia dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram, jika maksudnya sekedar mencela, mencacat dan menampakkan kekuarangan. Adapun jika dalam hal ini terdapat kemaslahatan umum bagi kaum muslimin atau kemaslahatan khusus bagi sebagian mereka, dan maksudnya adalah menghasilkan kemaslahatan ini, maka hal ini tidaklah diharamkan, bahkan disunnatkan. Hal ini telah ditetapkan oleh para ulama hadits dalam kitab mereka dalam pembahasan al-jarh wat-ta’dil. Mereka menyebutkan perbedaan antara melakukan tajrih terhadap para perawi dan dengan ghibah. Mereka membantah orang-orang yang menyamakan di antaranya keduanya, baik yang menyamaratakan itu dari kalangan ahli ibadah maupun dari kalangan lainnya dari orang-orang yang belum luas ilmunya, dan tidak ada perbedaan antara orang yang diterima riwayatnya dari mereka yang yang tidak diterima
Jika tujuannya adalah memperjelas kebenaran, maka hal ini masuk dalam pengertian nasihat. Dan jika tujuannya adalah menunjukkan kekurangan yang berkata, menampakkan kebodohan dan kelemahannya dalam ilmu, maka hal ini adalah perbuatan haram, baik bantahan itu dilakukan dihadapan orang yang dibantah atau pun dilakukan tidak dihadapannya, baik dilakukan semasa hidupnya maupun dilakukan sepeninggalnya, dan hal ini tercakup dalam hadits nabi saw.:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوْا اَلْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ اِتَّبَعَ عَوْرَاتِهِ يَتَّبِعُ الهُه عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحُهُ وَلَوْ فِيْ جَوْفِ بَيْتِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman dengan mulutnya, sementara keimanan belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian melakukan ghibah terhadap kaum muslimin, dan jangan pula mencari-cari auratnya, sebab, siapa saja yang mencari-cari auratnya, maka Allah swt. akan mencari-cari auratnya, dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah swt. niscaya Dia akan membuka kartunya walaupun ia berada di dalam rumahnya” (HR. Abu Daud dan lainnya. Lihat Aun al-Ma’bud 13/224).
Sangat bagus kalau seorang muslim menjadi benteng yang kokoh yang membela dan melindungi harga diri saudara muslim nya dan menjaga citranya, terlebih lagi jika dihadapannya disebutkan keburukan saudaranya sesuatu yang tidak disukainya. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ اَلْمُسْلِمِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ اَلنَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang membela harga diri saudaranya yang muslim, niscaya Allah swt. menjaga wajahnya dari neraka pada hari kiamat” (HR. At-Tirmidzi, shahih)
Dan hHendaklah kita semua tsiqah terhadap saudara kita dan berhati tenteram kepadanya, dan janganlah kita men-ta’wil-kan omongannya kecuali dengan baik, selama omongan itu masih memungkinkan ditafsirkan baik, supaya kita berbahagia dalam urusan agama dan dunia kita, dan supaya kita selamat pada hari kiamat,
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
“Yaitu hari dimana harta dan anak lakui-laki tidak memberi manfaat, kecuali yang datang kepada Allah swt dengan hati selamat” (Asy-Syu’ara: 88 – 89).
Kita memohon kepada Allah swt. agar Dia mensucikan hati kita dari ghill (dengki), dendam dan iri, dan semoga Dia memberikan kepada kita hati yang selamat, mulut yang jujur, ilmu yan bermanfaat dan amal yang shalih.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيم
“Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

Tahlil


Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat -kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, asma’ul husna, shalawat dan lain -lain.

Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi
si mayyit ?

Menghadiahkan Fatihah, atau yaasiin, atau dzikir, tahlil, atau shadaqah, atau qadha puasanya dan lain – lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan nash yang jelas dalam Shahih Muslim hadits No.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”,dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat meng-hajikan untuk ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah saw pun
menghadiahkan Sembelihan Beliau saw saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits  No.1967).

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan
sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).
Mengenai ayat :

“DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YANG DIPERBUATNYA,

maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat

“DAN ORAN ORANG YANG BERIMAN YANG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”.

Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan Adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), Shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang – orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas – jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah saw menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai
hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Alqur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat :

“WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YANG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”,(QS. Al Hasyr : 10).

Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam – Imam yang memungkirinya, siapa pula yang  memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir. Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Alqur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat – buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam.

Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab. Bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ? Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Alqur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah Hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?,

semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan komputer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid – masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya.
Sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan
orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : “Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits No.3726, 3727).

Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah Fatihah maka ia membaca Al Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat Al Ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan
disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : “Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).

Berkata Hujjatul islam Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy dalam kitabnya Fathul Baari Bisyarah shahih Bukhari mensyarahkan makna hadits ini beliau berkata :

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ مِنْهُ وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًا
لِغَيرِْهِ

“pada riwayat ini menjadi dalil diperbolehkannya mengkhususkan sebagian surat Alqur’an dengan keinginan diri padanya, dan memperbanyaknya dengan kemauan sendiri, dan tidak bisa dikatakan bahwa perbuatan itu telah mengucilkan surat lainnya” (Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Juz 3 hal 150 Bab Adzan)

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tersebut dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya.

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw

1. Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah :
“aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.

2. Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj :
“aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.

Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H

3. Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy
“aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw.” (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

Wa-allahu alam bishowab sekiranya hanya ini pemahaman alfaqir dalam memahami tahlil yang di katakan sesat oleh beberapa golongan, alfaqir berharap jadikan khilafiyyah ini sesuatu hal indah dan alat untuk memper erat ukwah.

Tawasul


Assalamu’alaikum Wr. Wb
Allah swt sudah memerintah kita melakukan tawassul. Tawassul adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah swt, Allah swt mengenalkan kita pada Iman dan Islam dengan perantara makhluk-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw sebagai perantara pertama kita kepada Allah swt, lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu perantara ketiga adalah para tabi’in. Demikian berpuluh – puluh perantara sampai pada guru kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah ayah ibu kita, namun diatas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi saw, sampailah kepada Allah swt.
Allah swt berfirman : “Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah atau patuhlah kepada Allah swt dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah SWT dan berjuanglah di jalan Allah swt, agar kamu mendapatkan keberuntungan” (QS.Al-Maidah-35).
Berkata Imam Ibn katsir menafsirkan ayat ini :
والوسيلة: هي التي يتوصل بها إلى تحصيل المقصود، والوسيلة أيضًا: علم على أعلى منزلة في
الجنة، وهي منزلة رسول الله صلى الله عليه وسلم وداره في الجنة، وهي أقرب أمكنة الجنة إلى
العرش، وقد ثبت في صحيح البخاري، من طريق محمد بن المُنكَدِر، عن جابر بن عبد الله قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من قال حين يسمع النداء: اللهم رب هذه الدعوة التامة، والصلاة
القائمة، آت محمدًا الوسيلة والفضيلة، وابعثه مقامًا محمودا الذي وعدته، إلا حَلَّتْ له الشفاعة يوم
.”القيامة
حديث آخر في صحيح مسلم: من حديث كعب عن علقمة، عن عبد الرحمن بن جُبير، عن عبد الله
بن عمرو بن العاص أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: “إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما
يقول، ثم صلُّوا عَليّ، فإنه من صلى عَليّ صلاة صلى الله عليه بها عشرًا، ثم سلوا الله لي الوسيلة،
فإنها منزلة في الجنة، لا تنبغي إلا لعبد من عباد الله، وأرجو أن أكون أنا هو، فمن سأل لي الوسيلة
(حَلًّتْ عليه الشفاعة.” ) 1
حديث آخر: قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الرزاق، أخبرنا سفيان، عن لَيْث، عن كعب، عن أبي هريرة؛
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إذا صليتم عَليّ فَسَلُوا لي الوسيلة”. قيل: يا رسول الله
وما الوسيلة؟ قال: “أعْلَى درجة في الجنة، لا ينالها إلا رَجُلٌ واحد ) 2( وأرجو أن أكون أنا هو
“Wasilah adalah sesuatu yang menjadi perantara untuk mendapatkan tujuan, dan merupakan perantara pula ilmu tentang setinggi tinggi derajat, ia adalah derajat mulia Rasulullah saw di Istana beliau saw di sorga. Dan itu adalah tempat terdekat di sorga ke Arsy, dan telah dikuatkan pada Shahih Bukhari dari jalan riwayat Muhammad bin Al Munkadir, dari Jabir bin Abdillah ra, sabda Rasulullah saw : Barangsiapa yang berdoa ketika mendengar seruan (adzan) :Wahai Alla Tuhan Pemilik Dakwah ini Yang Maha Sempurna, dan shalat yang didirikan, berilah Muhammad perantara dan anugerah, dan bangkitkanlah untuk beliau saw derajat yang terpuji yang telah Kau Janjikan pada beliau saw, maka telah halal syafaat dihari kiamat”.
Hadits lainnya pada Shahih Muslim, dari hadits Ka;ab dari Alqamah, dari Abdurrahman bin Jubair, dari Abdullah bin Amr bin Al Ash, sungguh ia mendengar Nabi saw bersabda : Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkan seperti ucapan mereka, lalu bershalawatlah padaku, maka sungguh barangsiapa yang bershalawat padaku sekali maka Allah melimpahkan shalawat padanya 10X, lalu mohonlah untukku wasiilah (perantara), maka sungguh ia merupakan tempat di sorga, tiada diberikan pada siapapun kecuali satu dari hamba Allah, dan aku berharap agar akulah yang menjadi orang itu, maka barangsiapa yang memohonkan untukku perantara, halal untuknya syafaat. Dan hadits lainnya berkata Imam Ahmad, diucapkan pada kami oleh Abdurrazzak, dikabarkan pada kami dari sofyan, dari laits, dari Ka;ab, dari Abu Hurairah ra : Sungguh Rasulullah saw bersabda : Jika kalian shalat maka mohonkan untukku wasiilah, mereka bertanya : Wahai Rasulullah, (saw), wasiilah itu apakah?, Rasul saw bersabda : Derajat tertinggi di sorga, tiada yang mendapatkannya kecuali satu orang, dan aku berharap akulah
orang itu. Selesai ucapan Imam ibn Katsir. (Tafsir Imam Ibn Katsir pada Al Maidah 35) Ayat ini jelas menganjurkan kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah, dan Rasul saw adalah sebaik baik perantara, dan beliau saw sendiri bersabda : “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu menjawab dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah kau janjikan padanya”. Maka halal baginya syafaatku” (Shahih Bukhari hadits No.589 dan hadits No.4442) Hadits ini jelas bahwa Rasul saw menunjukkan bahwa beliau saw tak melarang tawassul pada beliau saw, bahkan orang yang mendoakan hak tawassul untuk beliau saw sudah dijanjikan syafaat beliau saw
Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal perbuatanku yang saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di goa dan masing – masing bertawassul pada amal shalihnya, Allah swt membuka sepertiga celah goa tempat mereka terperangkap berkat tawassul orang pertama pada amal shalihnya, namun mereka belum bisa keluar dg celah itu, maka orang kedua bertawassul pada amal shalih yg pernah diperbuatnya, maka celah terbuka 2/3 dan belum bisa membuat mereka keluar dari goa, maka orang ketiga bertawassul pula pada amal baiknya, maka terbukalah celah goa keseluruhannya.
Namun dari riwayat ini bisa difahami bahwa tawassul pada amal shalih sendiri tidak bisa menyelamatkan dirinya, namun justru sebab dua orang lainnya maka mereka semua bisa selamat..
Jelas sudah bertawassul pada orang lain lebih bisa menyelamatkan daripada tawassul pada amal sendiri yang belum tentu diterima, namun tawassul pada orang shalih yang sudah masyhur kebaikan dan banyaknya amal ibadahnya, akan lebih mudah dikabulkan Allah swt, lebih lagi tawassul pada Rasulullah saw. Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra pada riwayat Shahih Bukhari :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَُّه عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا
نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Dari Anas bin Malik ra sungguh Umar bin Khattab ra ketika sedang musim kering ia memohon turunnya hujan dengan perantara Abbas bin Abdulmuttalib ra, seraya berdoa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami (Muhammad saw) agar Kau turunkan hujan lalu Kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau Sang Nabi saw maka turunkanlah hujan”
Berkata Hujjatul Islam Al imam Ibn Hajar Al Asqalaniy mensyarahkan hadits ini :
وَيُسْتَفَاد مِنْ قِصَّة الْعَبَّاس اِسْتِحْبَاب الِاسْتِشْفَاع بِأَهْلِ الْخَيْر وَالصَّلَاح وَأَهْل بَيْت النُّبُوَّة ، وَفِيهِ فَضْل
الْعَبَّاس وَفَضْل عُمَر لِتَوَاضُعِهِ لِلْعَبَّاسِ وَمَعْرِفَته بِحَقِّهِ
maka diambil faidah dari kejadian Abbas ra ini menjadi hal yang baik memohon syafaat pada orang – orang yang baik dan shalih, dan keluarga Nabi saw, dan pada hadits ini pula menyebutkan keutamaan Abbas ra dan keutamaan Umar ra karena rendah dirinya, dan kefahamannya akan kemuliaan Abbas ra. (Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Bab Al-Jum’ah No.954)
Riwayat diatas menunjukkan bahwa :
1. Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.
2. Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan Allah swt.
3. Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan Umar ra : “demi paman Nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan namanya saja?, misalnya demi Abbas bin Abdulmuttalib ra?, namun justru beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam doanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan bahwa Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan Allah.
Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian muslimin untuk kesembuhan,  sebagaimana doa beliau saw ketika ada yang sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (Shahih Bukhari hadits No.5413, dan Shahih Muslim hadits No.2194), ucapan beliau saw : “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat menyembuhkan  penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, juga beliau bertawassul pada tanah
menunjukkan diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya mengandung kemuliaan Allah swt, seluruh alam ini menyimpan kekuatan Allah dan seluruh alam ini berasal dari cahaya Allah swt. Riwayat lain ketika datangnya seorang buta pada Rasul saw, seraya mengadukan kebutaannya dan minta didoakan agar sembuh, maka Rasul saw menyarankannya agar bersabar, namun orang ini tetap meminta agar Rasul saw berdoa untuk kesembuhannya, maka Rasul saw memerintahkannya untuk berwudhu, lalu shalat 2 rakaat, lalu Rasul saw mengajarkan doa ini padanya, ucapkanlah : “Wahai Allah, Aku meminta kepada-Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi-Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka Kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (Shahih Ibn Khuzaimah hadits No.1219, Mustadrak ala Shahihain hadits No.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dengan syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas ini jelas – jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdoa dengan doa tersebut, Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yang membuat buat doa ini, tapi Rasul saw yang mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya. Lalu muncullah pendapat saudara – saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada Nabi saw, pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra bertawassul pada Abbas bin Abdulmuttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air liur. Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup, pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut : “telah datang kepada Utsman bin Hanif ra seorang yang mengadukan bahwa Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudhulah, lalu shalatlah 2 rakaat di masjid, lalu berdoalah dengan doa : “Wahai Allah, Aku meminta kepada-Mu, dan menghadap kepada-Mu, Demi Nabi-Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka Kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (doa yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti selepas kau lakukan itu maka ikutlah denganku kesuatu tempat. Maka orang itu pun melakukannya lalu Utsman bin Hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa – apa Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada utsman bin affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya..??”, maka berkata Utsman bin hanif ra : “aku tak bicara apa – apa pada Utsman bin Affan ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada orang buta dan sembuh”. (Majmu’ Zawaid Juz 2 hal 279). Tentunya doa ini dibaca setela wafatnya Rasul saw, dan itu diajarkan oleh Utsman bin hanif dan dikabulkan Allah. Ucapan : Wahai Muhammad.. dalam doa tawassul itu banyak dipungkiri oleh sebagian saudara – saudara kita, mereka berkata kenapa memanggil orang yang sudah mati? kita menjawabnya : sungguh kita setiap shalat mengucapkan salam pada Nabi saw yang telah wafat : Assalamu alaika ayyuhannabiyyu… (Salam sejahtera atasmu wahai nabi……), dan nabi saw menjawabnya, sebagaimana sabda beliau saw : “tiadalah seseorang bersalam kepadaku, kecuali Allah mengembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya” (HR Sunan Imam Baihaqiy Alkubra hadits No.10.050)
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tak pula oleh Ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para Tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta Imam – Imam besar Muhadditsin, bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat radhiyallahu’anhum  mengamalkannya. Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.
Tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian, justru mereka yang
membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa – apa kecuali karena Allah memuliakannya, Bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dengan Allah??, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah??,  Tidak sahabatku.. Demi Allah bukan  demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup tak akan
mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah swt.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan Kodrat Illahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah SWT. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada
Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat. Sebagai contoh dari bertawassul, seorang pengemis datang pada seorang saudagar kaya dan dermawan, kebetulan almarhumah istri saudagar itu adalah tetangganya, lalu saat ia mengemis pada saudagar itu ia berkata “berilah hajat saya tuan …saya adalah tetangga dekat amarhumah istri tuan…” maka tentunya si saudagar akan memberi lebih pada si pengemis karena ia tetangga mendiang istrinya, Nah… bukankah hal ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati? Bagaimana dengan pandangan yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat?, Jelas – jelas saudagar itu akan sangat menghormati atau mengabulkan hajat si pengemis, atau memberinya uang lebih, karena ia menyebut nama orang yang ia cintai walau sudah wafat. Walaupun seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahman Arrahiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyantun?, istri saudagar yang telah wafat itu tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang urusan hajat si pengemis pada si saudagar, NAMUN TENTUNYA SI PENGEMIS MENDAPAT MANFAAT BESAR DARI ORANG YANG TELAH WAFAT, entah apa yang membuat pemikiran sahabat/saudara kita menyempit hingga tak mampu mengambil permisalan mudah seperti ini.
Semuanya kita kembalikan kepada diri kita masing-masing.
Wal afwu minkum waallahul muwafiq illa aqwamit thoriq Assalamu’alaikum Wr. Wb

Tabbaruk


Assalamu'alaikum,

Banyak orang yang keliru memahami makna hakikat tabarruk dengan Nabi Muhammad saw,
peninggalan-peninggalannya Nabi Muhammad saw, Ahlulbaitnya Muhammad saw dan para pewarisnya yakni para ulama,
para kyai dan para wali. Karena hakekat yang belum mereka pahami, mereka berani menilai
kafir (sesat) atau musyrik terhadap mereka yang bertabarruk pada Nabi Muhammad saw atau ulama.

Mengenai azimat (Ruqyyat) dengan huruf arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama
itu tidak menduakan Allah swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat
atau doa disebutkan pada kitab Faidhulqadir Juz 3 hal 192, dan Tafsir Imam Qurtubi Juz 10
hal.316/317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya
hal tersebut, karena itu semata mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat - ayat
Alqur’an.

Mengenai benda-benda keramat, maka ini perlu penjelasan yang sejelas - jelasnya, bahwa
benda - benda keramat itu tak bisa membawa manfaat atau mudharrat, namun mungkin saja
digunakan Tabarrukan (mengambil berkah) dari pemiliknya dahulu, misalnya ia seorang
yang shalih, maka sebagaimana diriwayatkan :

Para sahabat seakan akan hampir saling bunuh saat berdesakan berebutan air bekas
wudhunya Rasulullah saw (Shahih Bukhari Hadits No. 186),

• Allah swt menjelaskan bahwa ketika Nabi Ya’qub as dalam keadaan buta, lalu dilemparkanlah
ke wajahnya pakaian Yusuf as, maka ia pun melihat, sebagaimana Allah menceritakannya
dalam firman Nya SWT : “(berkata Yusuf as pada kakak kakaknya) PERGILAH KALIAN
DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU, MAKA IA AKAN
SEMBUH DARI BUTANYA” (QS. Yusuf : 93), dan pula ayat : “MAKA KETIKA DATANG
PADANYA KABAR GEMBIRA ITU, DAN DILEMPARKAN PADA WAJAHNYA (pakaian
Yusuf as) MAKA IA (Ya’qub as) SEMBUH DARI KEBUTAANNYA” (QS. Yusuf : 96).

Ini merupakan dalil Alqur’an, bahwa benda atau pakaian orang - orang shalih dapat menjadi
perantara kesembuhan dengan izin Allah tentunya, kita bertanya mengapa Allah sebutkan
ayat sedemikian jelasnya?, apa perlunya menyebutkan sorban yusuf dengan ucapannya :
PERGILAH KALIAN DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU,
MAKA IA AKAN SEMBUH DARI BUTANYA”. Untuk apa disebutkan masalah baju yang
dilemparkan ke wajah ayahnya?, agar kita memahami bahwa Allah SWT memuliakan benda
benda yang pernah bersentuhan dengan tubuh hamba - hambaNya yang shalih. kita akan lihat
dalil - dalil lainnya.

• Setelah Rasul saw wafat maka Asma binti Abubakar Asshiddiq ra menjadikan baju beliau
saw sebagai pengobatan, bila ada yang sakit maka ia mencelupkan baju Rasul saw itu di air
lalu air itu diminumkan pada yang sakit (Shahih Muslim hadits No.2069).

Rasul saw sendiri menjadikan air liur orang mukmin sebagai berkah untuk pengobatan,
sebagaimana sabda beliau : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian
dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (Shahih Bukhari hadits
No.5413), ucapan beliau : “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa
air liur orang mukmin dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya.
Sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya,
hadits ini menjelaskan bahwa Rasul saw bertabarruk dengan air liur mukminin bahkan tanah
bumi, menunjukkan bahwa pada hakikatnya seluruh ala ini membawa keberkahan dari
Allah swt.

Seorang sahabat meminta Rasul saw shalat di rumahnya agar kemudian ia akan menjadikan
bekas tempat shalat beliau saw itu mushollah di rumahnya, maka Rasul saw datang ke rumah
orang itu dan bertanya : “dimana tempat yang kau inginkan aku shalat?”. Demikian para
sahabat bertabarruk dengan bekas tempat shalatnya Rasul saw hingga dijadikan musholla
(Shahih Bukhari hadits No.1130)

Nabi Musa as ketika akan wafat ia meminta di dekatkan ke wilayah suci di Palestina,
menunjukkan bahwa Musa as ingin di makamkan dengan mengambil berkah pada tempat
suci (Shahih Bukhari hadits No.1274).

• Allah memuji Nabi Muhammad saw dan Umar bin Khattab ra yang menjadikan Maqam Ibrahim
as (bukan makamnya, tetapi tempat ibrahim as berdiri dan berdoa di depan ka’bah yang
dinamakan Maqam Ibrahim as) sebagai tempat shalat (musholla), sebagaimana firmanNya: “Dan mereka menjadikan tempat berdoanya Ibrahim sebagai tempat shalat” (QS. Al-Imran : 97),

maka jelaslah bahwa Allah swt memuliakan tempat hamba - hambaNya berdoa,
bahkan Rasul saw pun bertabarruk dengan tempat berdoanya Ibrahim as, dan Allah memuji
perbuatan itu.

• Diriwayatkan ketika Rasul saw baru saja mendapat hadiah selendang pakaian bagus dari
seorang wanita tua, lalu datang pula orang lain yang segera memintanya selagi pakaian itu
dipakai oleh Rasul saw, maka riuhlah para sahabat lainnya menegur si peminta, maka sahabat
itu berkata : “aku memintanya karena mengharapkan keberkahannya ketika dipakai oleh
Nabi Muhammad saw dan kuinginkan untuk kafanku nanti” (Shahih Bukhari hadits No.5689), demikian cintanya para sahabat pada Nabinya saw, sampai kain kafan pun mereka ingin yang bekas sentuhan tubuh Nabi Muhammad saw.

• Sayyidina Umar bin Khattab ra ketika ia telah di hadapan sakratulmaut, yaitu sebuah serangan pedang yang merobek perutnya dengan luka yang sangat lebar, beliau tersungkur
roboh dan mulai tersengal - sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar ra), “Pergilah pada ummulmukminin, katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya,
dan kalau diperbolehkan aku ingin di makamkan dis ebelah Makam Rasul saw dan Abubakar
ra”, maka ketika Ummulmukminin telah mengizinkannya maka berkatalah Umar ra : “Tidak
ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu” (di makamkan
di samping makam Rasul saw), (Shahih Bukhari hadits No.1328).
Dihadapan Umar bin Khattab ra, kuburan Nabi saw mempunyai arti yang sangat Agung, hingga kuburannya pun ingin di sebelah kuburan Nabi saw, bahkan ia berkata : “Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu”.

• Demikian pula Abubakar Asshiddiq ra, yang saat Rasul saw wafat maka ia membuka kain
penutup wajah Nabi Muhammad saw lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi tubuh beliau Muhammad saw dan berkata : 
“Demi ayahku, dan engkau dan ibuku wahai Rasulullah.., Tiada akan Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan Allah untukmu kini telah kau lewati”. (Shahih Bukhari hadits No.1184, 4187).

Salim bin Abdullah ra melakukan shalat sunnah di pinggir sebuah jalan, maka ketika
ditanya ia berkata bahwa ayahku shalat sunnah di tempat ini, dan berkata ayahku bahwa
Rasulullah saw shalat di tempat ini, dan dikatakan bahwa Ibn Umar ra pun melakukannya.
(Shahih Bukhari hadits No.469).
Demikianlah keadaan para sahabat Rasul saw, bagi mereka tempat-tempat yang pernah disentuh oleh Tubuh Muhammad saw tetap mulia walau telah diinjak ribuan kaki, mereka mencari keberkahan dengan shalat pula ditempat itu, demikian
pengagungan mereka terhadap Sang Nabi Muhammad saw.

• Dalam riwayat lainnnya dikatakan kepada Abu Muslim, wahai Abu Muslim, kulihat engkau
selalu memaksakan shalat ditempat itu?, maka Abu Muslim ra berkata : Kulihat Rasul saw
shalat ditempat ini” (Shahih Bukhari hadits No.480).

• Sebagaimana riwayat Sa’ib ra, : “aku diajak oleh bibiku kepada Rasul saw, seraya
berkata : Wahai Rasulullah.., keponakanku sakit.., maka Rasul saw mengusap kepalaku dan
mendoakan keberkahan padaku, lalu beliau berwudhu, lalu aku meminum air dari bekas
wudhu beliau (Muhammad saw), lalu aku berdiri di belakang beliau dan kulihat Tanda Kenabian beliau saw” (Shahih Muslim hadits No.2345).

• Riwayat lain ketika dikatakan pada Ubaidah ra bahwa kami memiliki rambut Rasul saw,
maka ia berkata: “Kalau aku memiliki sehelai rambut beliau , maka itu lebih berharga
bagiku dari dunia dan segala isinya” (Shahih Bukhari hadits No.168). Demikianlah mulianya
sehelai rambut Nabi Muhammad saw di mata sahabat, lebih agung dari dunia dan segala isinya.

• Diriwayatkan oleh Abi Jahiifah dari ayahnya, bahwa para sahabat berebutan air bekas
wudhu Rasul saw dan mengusap - usapkannya ke wajah dan kedua tangan mereka, dan
mereka yang tak mendapatkannya maka mereka mengusap dari basahan tubuh sahabat
lainnya yang sudah terkena bekas air wudhu Rasul saw lalu mengusapkan ke wajah dan
tangan mereka” (Shahih Bukhari hadits No.369, demikian juga pada Shahih Bukhari hadits
No.5521, dan pada Shahih Muslim hadits No.503 dengan riwayat yang banyak).

Diriwayatkan ketika Anas bin malik ra dalam detik detik sakratulmaut ia yang memang
telah menyimpan sebuah botol berisi keringat Rasul saw dan beberapa helai rambut Rasul
saw, maka ketika ia hampir wafat ia berwasiat agar botol itu disertakan bersamanya dalam
kafan dan hanutnya (Shahih Bukhari hadits No.5925)

Tampaknya kalau mereka ini hidup di zaman sekarang, tentulah para sahabat ini sudah
dikatakan musyrik, tentu Abubakar sudah dikatakan musyrik karena menangisi dan memeluk
tubuh Rasul saw dan berbicara pada jenazah beliau.
Tentunya Umar bin Khattab sudah dikatakan musyrik karena di sakratulmaut bukan ingat
Allah malah ingat kuburan Nabi.
Tentunya para sahabat sudah dikatakan musyrik dan halal darahnya, karena mengkultuskan
Nabi Muhammad saw dan menganggapnya tuhan sembahan hingga berebutan air bekas
wudhunya, mirip dengan kaum nasrani yang berebutan air pastor!

Nah.. kita boleh menimbang diri kita, apakah kita sejalan dengan sahabat atau kita sejalan
dengan generasi dengan pemahaman yang salah.

saudaraku, jangan alergi dengan kalimat syirik, syirik itu adalah bagi orang yang
berkeyakinan ada Tuhan Lain selain Allah, atau ada yang lebih kuat dari Allah, atau meyakini
ada Tuhan yang sama dengan Allah swt. Inilah makna syirik.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw : “Kebekahan adalah pada urang orang tua dan ulama kalian”
(Shahih Ibn Hibban hadits No.559)

Dikatakan oleh Al hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy menanggapi hadits
yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasul saw membaca mu’awwidzatain lalu
meniupkannya ke kedua telapak tangannya, lalu mengusapkannya ke sekujur tubuh yang
dapat disentuhnya, hal itu adalah tabarruk dengan nafas dan air liur yang telah dilewati
bacaan Alqur’an, sebagaimana tulisan dzikir - dzikir yang ditulis di bejana (untuk obat). (Al
Jami’usshaghiir Imam Assuyuthiy Juz 1 hal 84 hadits No.104)

Telah dibuktikan pula secara ilmiah oleh salah seorang Profesor Jepang (Dr. Masaru Emoto),
bahwa air itu berubah wujud bentuknya dengan hanya diucapkan padanya kalimat - kalimat
tertentu, bila ucapan itu berupa cinta, terimakasih dan ucapan - ucapan indah lainnya maka
air itu berubah wujudnya menjadi semakin indah, bila diperdengarkan ucapan cacian dan
buruk maka air itu berubah menjadi buruk wujud bentuknya, dan bila dituliskan padanya
tulisan mulia dan indah seperti terimakasih, syair cinta dan tulisan indah lainnya maka ia
menjadi semakin indah wujudnya, bila dituliskan padanya ucapan caci maki dan ucapan
buruk lainnya maka ia berubah buruk wujudnya. Kesimpulannya bahwa air itu berubah
dengan perubahan emosi orang yang didekatnya, apakah berupa tulisan dan perkataan.
Keajaiban alamiah yang baru diketahui masa kini, sedangkan Rasul saw dan para sahabat
telah memahaminya, mereka bertabarruk dengan air yang menyentuh tubuh Rasul saw,
mereka bertabarruk dengan air doa yang didoakan oleh Rasul saw, maka hanya mereka
mereka kaum muslimin yang rendah pemahamannya dalam syariah inilah yang masih terus
menentangnya padahal telah dibuktikan secara ilmiah, menunjukkan pemahaman mereka
itulah yang jumud dan terbelakang. Wa-Allahu alam bishowab

wal -afwu minkum Assalamualaikum